KATA
PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita panjatkan
puji dan syukur kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan lancar dan tanpa kendala yang begitu
berarti.
Sholawat serta salam tak lupa
terlimpah curakan kepada kepada Nabi Muhammad SAW, serta keluarga dan
sahabatnya. Dan tak lupa pula kami sampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama islam yakni bapak Husni Mubarok M.Pd.I dan
rekan-rekan mahasiswa/i
Keperawatan Medikal Bedah semester I yang sangat berperan penting dalam upaya pembuatan makalah ini.
Makalah yang bertemakan “pengertian zaman jahiliyah,
hak wanita dan pria diera islam dan penghargaan terhadap ilmu” ini, kami buat
untuk memenuhi tugas wajib setiap kelompok sebagai penunjang nilai mata
kuliah Agama Islam.
Kami selaku penyusun menyadari bahwa
“tak ada gading yang tak retak” oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan, guna dapat memperbaiki dan meningkat kualitas
pembuatan makalah
dimasa yang akan datang.
Akhir kata “ semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan bagi perkembangan dunia pendidikan. Amin-amin yaa rabbal-alaminn”.
Pontianak, sseptember 2013
Tim
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.…………………………………….……..……1
DAFATR
ISI….....……………………………………………….……2
BAB
I
PENDAHULUAN……………………………………………………...3
A.
Latar Belakang…………………………………………………………….. 3
B.
Tujuan…………………………………………..………………………….. 3
BAB
II
PEMBAHASAN……………………………...………………………..4
BAB
III
PENUTUP………………….………………………………………….12
A.
Kesimpula…...……………………………………………………………… 12
B.
Saran……………………………………………………………………….. 12
DAFTAR
PUSTAKA…………...……………………………...……..13
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Agama islam sangat terkenal dengan Sejarah Kebudayaan Islam,
dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah. Islamiyah adalah agama yang memiliki
norma agama yang sangat kuat namun, di
Zaman Islamiyah yang sudah modern saat ini banyak kita ketahui, bahwa perang
pemikiran yang dikemukakan orang barat terhadap orang-orang islam sudah mulai
banyak yang terhasud, sehingga banyak orang islam yang mulai kembali ke zaman
jahiliyah terdahulu. Maka dari itu kita sebagai penerus bangsa Indonesia yang mayoritasnya agama islam harus
mempelajari apa itu zaman jahiliyah, hak
wanita dan pria di era islam, dan penghargaan terhadap ilmu. Sehingga norma
Agama islam tetap terjaga.
B. TUJUAN
1) Untuk
mengetahui pengertian Zaman Jahiliyah
2) Untuk
mengetahui hak-hak Wanita dan Pria di Era Islam
3) Untuk
mengetahui betapa penting menghargai Ilmu
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jahiliyah
Masa Jahiliyah adalah era ketika kondisi dan situasi masyarakat belum terjamah oleh risalah dan dakwah Islam. Periode ini sering juga disebut dengan istilah Pra-Islam. Seiring dengan perkembangan dan akulturasi bahasa, istilah ini juga melekat erat pada sifat orang-orang yang tidak taat pada aturan agama yang telah diproyeksikan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kebiasaan-kebiasaan kaum jahiliyah yang realitasnya berseberangan dengan anjuran Rasulullah s.a.w tersebut disebabkan oleh sifat keras kepala, apriori dan ta’assub (fanatik yang berlebihan) terhadap peninggalan dan tradisi para leluhur yang mengental rekat dalam ritual yang selalu disakralkan. Seperti kebiasaan dahulu orang-orang jahiliyah yang mengitari ka’bah dengan bertelanjang tanpa busana, akhirnya terwarisi dengan kebiasaan generasi berikutnya yang tidak malu mempertontonkan auratnya di depan publik, sehingga hal seperti itu dianggap lumrah bahkan dianggap sebagai modernisasi.
Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab dalam Masail Al-Jahiliyyah mengatakan, bahwa agama mereka (orang-orang jahiliyah) terbangun oleh beberapa pondasi yang menjadi akar dan pijakan. Yang terbesar diantaranya ialah “TAQLID”, yaitu sebuah sistim yang besar yang selalu menjadi tumpuan semua orang-orang kafir, sedari dahulu kala hingga akhir zaman. Sebagaimana Allah SWT berfirman di berbagai ayat di dalam Al-Qur’an:
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ
إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى
آثَارِهِمْ مُقْتَدُون.
“Dan
demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun
dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesunguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”(QS.Az-Zukhruf:23).
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ
الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِير.ِ
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi
kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari bapak-bapak kami
mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun
syaithan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka). (QS.Luqman:21).
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا
مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ.
“Ikutilah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selainnya (pemimpin yang membawa kepada kesesatan). Amat
sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)” (QS.Al-A’raf:3).
Syeikh DR.Shalih ibn Fauzan ibn Abdillah Al-Fauzan dalam Syarhul Masaa’il Al-Jahiliyyah menjelaskan bahwa mereka (orang-orang jahiliyah) tidak menegakkan agama mereka sesuai dengan apa yang telah para Rasul sampaikan kepada mereka, sesunguhnya mereka mengkonstruksi agama mereka dengan dasar-dasar yang mereka mengada-adakannya sendiri sekehendak hati mereka, dan mereka enggan merobah diri serta beranjak dari kebiasaan itu. Perihal inilah yang dalam dunia Islam disebut sebagai “at-taqlid”, atau dalam istilah Arab juga akrab dengan sebutan “al-muhakah”, yaitu sebagian orang meniru cara-cara yang kelompok individu lain lakukan, sedangkan objek yang ditiru itu tidak sepatutnya untuk menjadi percontohan (maslahat). Sebagaimana Allah SWT berfirman:
Kata “مترفوها” dalam ayat ini adalah “mereka (para penduduk) yang hidup mewah sejahtera dan bergelimang harta pada umumnya, karena mereka adalah orang-orang yang cenderung berbuat jahat, sombong, dan tiada keinginan menerima kebenaran. Berbeda halnya dengan kaum faqir dan dhuafa, yang pada umumnya bersikap tawadhu’ dan ikhlas menerima kebenaran.
Kaum yang mengagung-agungkan harta, tahta dan garis keturunan leluhurnya inilah, yang dahulu ketika para Rasul memberi peringatan dan mengajak mereka kepada jalan yang benar, mereka selalu membantah dengan ucapan” “Inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa aatsaarihim muqtaduun”; “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah penganut jejak-jejak mereka.” Dengan kata lain (secara tidak langsung) mereka bermaksud: Kami tidak butuh peran dan kehadiranmu wahai Rasul, kami lebih percaya dengan apa yang telah dibudayakan oleh leluhur kami.
- Islam Basics: About Islam and American Muslim, Council on American-Islamic
Relations (CAIR), Copyright © 2007.
- Religions & Ethics: Islam at a glance, BBC - homepage, © MMVII.
B. Pengertian Hak Wanita dan Pria di
Era Islam
hak wanita adalah prospek pelepasan
wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang
membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini
dikenal dengan tahrir al-marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan
emansipasi wanita, Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah
lebih dahulu mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era
jahiliah ke masa kemulaian wanita. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan
mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa
dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala
larangnnya.
Pemahaman
emansipasi wanita yang berkembang saat ini mengatasnamakan Hak Asasi
Manusia (HAM), menyerukan bahwa emansipasi wanita adalah menyamakan hak dengan
kaum pria, padahal tidak semua hak wanita harus disamakan dengan pria.
Mencermati pemahaman tersebut, Penulis tertarik mengkaji lebih mendalam terkait
emansipasi wanita dalam perspektif hukum islam.
Islam
sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang sangat
besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri,
ibu, saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah
mewahyukan sebuah surat dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yaitu Surat
An-Nisa’ yang sebagian besar ayat dalam surat ini membicarakan persoalan yang
berhubungan dengan kedudukan, peranan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak
wanita.
Sesungguhnya
Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang:
Pertama, Bidang Kemanusiaan, Islam mengakui
hak wanita sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria.
Kedua, Bidang Sosial , terbuka lebar
bagi wanita di segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan
penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa
kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin
bertambah pula hak-hak wanita, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang
isteri, sampai menjadi seorang ibu yang menginjak lanjut usia (lansia), yang
lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan.
Ketiga, Bidang Hukum, Islam memberikan pada
wanita hak memiliki harta dengan sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah
mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah,
suami, atau kepala keluarga.
Secara
lebih rinci, hukum islam yang mengatur tentang emansipasi wanita yang konon
diartikan sebagai tuntutan persamaan gender dengan pria. Adapun dalil-dalilnya
adalah sebagai berikut.
1) Kedudukan wanita sama dengan pria
dalam pandangan Allah
Kedudukan wanita yang sama dengan pria
dalam pandangan Allah dapat ditilik dalam QS. Al-Ahzab : 35.
- Islam Basics: About Islam and American Muslim, Council on American-Islamic
Relations (CAIR), Copyright © 2007.
- Religions & Ethics: Islam at a glance, BBC - homepage, © MMVII.
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ
وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِين
وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَابِرَاتِ
وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ
وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ
وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ
مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Orang
muslim yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang mengikuti perintah
dan menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud orang mukmin
adalah orang-orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan oleh hatinya.
Berdasarkan dalil ini, islam menjelaskan bahwa kedudukan antara wanita dan pria
adalah sama, yang membedakan adalah iman dan ketakwaannya.
2) Kedudukan wanita sama dengan pria
dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan
harta kekayaannya
Berkenaan
dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam dapat dirujuk dalam QS.
An-Nisa : 4.
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian maskawin itu dengan senang hati,
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”.
Pemberian
itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua
pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain dalil
tersebut, kedudukan wanita dan pria dalam berusaha memperoleh, memiliki,
menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan dapat dilihat dalam QS. An-Nisa’
: 32.
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ
اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena)
bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan, dan bagi para (wanita) pun ada
bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunianya.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
3) Kedudukan wanita sama dengan pria
untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang
ditentukan
Kedudukan
wanita dan pria terkait dengan warisan dapat dirujuk dalam QS An-Nisa: 7,
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا
تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا
مَفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Islam
merupakan agama yang kaffah, pengaturan terkait kedudukan pria dan
wanita rinci diatur di dalamnya, salah satunya mengenai pembagian warisan.
Hak
dan kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu memiliki kodrat yang
menimbulkan peran dan tanggung jawab
antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai suami
isteri, fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi Penanggu-ng jawab dan
kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggung jawab sebagai Ibu
rumahtangga.
Berdasarkan
dalil-dalil yang telah Penulis kemukakan, maka dapat diketahui bahwa islam
sangat menjunjung harkat wanita bahkan melindungi dari hal yang paling
sederhana hingga yang lebih kompleks.
EMANSIPASI BUKAN PEMBEBASAN DIRI
Wanita merupakan bagian terbesar dari komunitas masyarakat
secara umum. Apabila mereka baik, niscaya masyarakat pun akan menjadi baik.
Sebaliknya, apabila mereka rusak, masyarakat pun akan rusak. Sungguh, apabila
seorang wanita muslimah benar-benar memahami agama, hukum dan syari’at Allah,
niscaya mereka akan mampu melahirkan generasi-generasi baru yang tangguh dan
berguna bagi umat seluruhnya.
Dienul
Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk
kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya
sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi
Allah adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam dalam firman-Nya ;
مَنْ عَمِلَ
صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan
shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri
balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (An
Nahl: 97)
Dalih emansipasi atau kesamarataan
posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung
modernisasi. Hal tersebut dimanfaatkan sebagai peluang dan jembatan emas bagi
musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk
menyebarkan opini-opini sesat, adalah sebagai propaganda yang tiada henti
dijejalkan di benak-benak wanita Islam sehingga emansipasi lebih condong
dimaknai sebagai bentuk pembebasan bagi kaum wanita.
Opini-opini
sesat yang terbentuk terkait emansipasi memberikan kesan wanita-wanita muslimah
yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah
wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau
kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya,
direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat
kemajuan budaya. Oleh karena itu agar wanita dapat maju, harus direposisi ke
ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan
berinteraksi dengan cara yang sesuai dengan ajaran islam.
Sudah
merupakan aksioma zaman modern, bahwa wanita itu mulia. Hanya saja semua orang
tidak sepakat dalam menentukan kriterium yang digunakan dalam mengukur tingkat
kemuliaannya. Banyak yang melihat kepada kecantikannya. Ada juga yang melihat
dari kemandirian dan posisi sosialnya. Ada juga yang melihat dari segi yang
lebih abstrak, seperti kualitas spiritual dan akhlaknya.
Para
pembela kaum wanita terus menerus mengkampanyekan persamaan hak antara pria dan
wanita di semua bidang kehidupan . Sayangnya, usaha persamaan (emansipasi) itu
cenderung ditampilkan dengan menafikan berbagai perbedaan kodrati antara dua
kelompok manusia berlainan jenis ini. Ada sebuah ungkapan ironis, bahwa dunia
wanita itu dibatasi empat dinding tembok. Sedangkan dunia kaum lelaki dibatasi
oleh garis cakrawala. Maka emansipasi berarti "mendobrak" dinding
pemisah yang membatasi ruang gerak kaum wanita. Apakah benar demikian? Tentunya
harus merujuk kembali kepada beberapa aspek dalam menjelaskan hakikat persamaan
antara pria dan wanita ini agar dalam "ketidaksamaan" yang tak
terpungkiri itu, tetap dapat bertindak obyektif dan adil.
Perlu
ditekankan bahwa emansipasi bukanlah pembebasan diri wanita. Selama ini,
emansipasi lebih cenderung diartikan sebagai persamaan gender yang berimplikasi
pada bentuk kebebasan memilih. Memilih dalam arti demikian disebut-sebut
sebagai bagian dari hak asasi manusia. Misalnya, memilih menjadi wanita karier,
padahal tugas mencari nafkah adalah kewajian seorang suami. Hal tersebut
dianggap sebagai perwujudan bahwa kedudukan wanita dan pria adalah sama. Pada
dasarnya, Islam membolehkannya tetapi ada batasannya dan tentunya tidak
melanggar syari’. Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang
ma’ruf.”
Islam
didzalimi dengan anggapan palsu, bahwa Islam tidak memberikan kesempatan kepada
kaum wanita untuk aktif di dalam kehidupan bermasyarakat dan memperoleh hak-hak
politiknya. Ini tidak lepas dari misunderstanding dan sikap
apriori terhadap ajaran-ajaran Islam. Menurut Yusuf Qardhawy, Islam membolehkan
kaum wanita untuk menduduki posisi yang tertinggi di dalam pengadilan,
mencalonkan diri menjadi anggota parlemen dan mendapatkan hak-hak politiknya secara
umum. Intelek kondang Timur Tengah ini berdalilkan kepada QS : At-Taubah : 7
yang menyatakan: "Al-Mukminuun walmukminaat ba’dhuhum auliyaa’u
ba’dhin". (Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan
saling menjadi auliya' antara satu sama lain). Pengertian kataAuliya’,
yang termaktub dalam ayat yang tersebut secara definitif mencakup kerjasama,
bantuan, saling pengertian dalam konteks saling menyuruh untuk mengerjakan yang
ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran.
Hal
tersebut berarti mencakup pula segala segi kebaikan ataupun usaha perbaikan
kualitas hidup umat, misalnya memberikan nasihat (kritik) kepada penguasa.
Senada dengan pendapat Yusuf Qardhawi, Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa membolehkan wanita untuk menjadi hakim selain dalam perkara qishash dan hudud.
Dan Imam Al-Thabary dan Ibn Hazm juga berpendapat yang demikian.
Jadi, pemahaman mengenai emansipasi
perempuan harus dilihat dari berbagai aspek. tidak hanya dilihat dari aspek
penuntutan hak saja, tetapi juga harus dilihat dari pemenuhan kewajiban.
Perkembangan zaman mendengungkan emansipasi sebagai penuntutan hak-hak saja
tetapi mengesampingkan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari hak-hak
tersebut. Contoh konkritnya, wanita diperbolehkan berkarier, tetapi juga harus
memenuhi kewajibannya seperti tetap memakai hijabnya dalam bekerja dan
mengetahui posisinya di berbagai peran lainnya, yakni sebagai istri dan sebagai
ibu. Dengan demikian, makna emansipasi menurut perspektif hukum islam tidak
hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak saja akan tetapi juga menjelaskan
tentang kewajiban-kewajiban merupakan konsekuensi dari hak yang bertujuan untuk
memuliakan wanita itu sendiri.
C. Penghargaan Terhadap Ilmu
Secara etimologis, kata ilmu berarti
kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri
kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam
Al-qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan
obyek pengetahuan. Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian.
Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai
spesialis. Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan
pengetahuan.
Jadi ilmu pengetahuan atau sains
adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian
yang dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat
didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah sistematis (science is
systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga
karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan dalam pemikiran
Islam, sain tidak boleh bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai
universal.
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber
ilmu, yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber
dari wahyu Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat
kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan Ilmu yang bersumber dari akal
pikiran manusia bersifat perolehan (acquired knowledge), tingkat
kebenaran nisbi (relative), oleh karenanya tidak ada istilah final dalam
suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan
untuk melakukan kajian ulang atau perbaikan kembali.
Al-qur’an menganggap “anfus” (ego)
dan “afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Tuhan menampakka tanda-tanda-Nya
dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki
kapasitas yang sangat luas karena ditimbang dari berbagai sisi pengalaman ini.
Pengalaman batin merupakan pengembaraan manusia terhadap seluruh potensi jiwa
dan inteleknya yang atmosfernya telah dipenuhi dengan nuansa wahyu Ilahi.
Sedangkan Al-qur’an membimbing pengalaman lahir manusia kearah obyek alam dan
sejarah.
Penghargaan
Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi karena sesungguhnya hal ini
merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah
makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi kemampuan untuk menyerap ilmu
pengetahuan.
ALLAH SWT berfirman dalam Al-Qur’an
surat al-mujadalah :11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا
فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَاتَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu,
maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa. Zaman Jahiliyah adalah Era
ketika kondisi dan situasi masyarakat belum terjamah oleh risalah dan dakwah
Islam. Periode ini sering juga disebut dengan istilah Pra-Islam. Seiring dengan
perkembangan dan akulturasi bahasa, istilah ini juga melekat erat pada sifat
orang-orang yang tidak taat pada aturan agama yang telah diproyeksikan oleh
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
hak wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemulaian wanita.
hak wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemulaian wanita.
Penghargaan Islam terhadap ilmu
pengetahuan sangat tinggi karena sesungguhnya hal ini merupakan cerminan
penghargaan bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah makhluk satu-satunya
yang secara potensial diberi kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Penghargaan
ini dapat dilihat dari beberapa aspek.
B.
SARAN
Kita
sebagai umat manusia, khususnya umat
islam marilah kita jaga iman dan takwa kita kepada ALLAH SWT. Jangan sampai
kita kembali ke masa jaman jahiliyah yang terdahulu karna pada zama modern ini
banyak orang-orang barat yang mencoba memerangi kita dengan kemajuan teknologi
yang berkembang saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar