Selasa, 03 Juni 2014

Filled Under:

MAKALAH ZAMAN JAHILIYAH

08.55

KATA PENGANTAR


Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan lancar dan tanpa kendala yang begitu berarti.
Sholawat serta salam tak lupa terlimpah curakan kepada kepada Nabi Muhammad SAW, serta keluarga dan sahabatnya. Dan tak lupa pula kami sampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama islam yakni bapak Husni Mubarok M.Pd.I dan rekan-rekan mahasiswa/i Keperawatan Medikal Bedah semester I yang sangat berperan penting dalam upaya pembuatan makalah ini.
Makalah  yang bertemakan “pengertian zaman jahiliyah, hak wanita dan pria diera islam dan penghargaan terhadap ilmu” ini, kami buat untuk memenuhi tugas wajib setiap kelompok sebagai penunjang nilai mata kuliah Agama Islam.
Kami selaku penyusun menyadari bahwa “tak ada gading yang tak retak” oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, guna dapat memperbaiki dan meningkat kualitas pembuatan makalah dimasa yang akan datang.
Akhir kata  “ semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi perkembangan dunia pendidikan. Amin-amin yaa rabbal-alaminn”.



                                                                                                            Pontianak,  sseptember 2013


                                                                                                            Tim Penyusun



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.…………………………………….……..……1
DAFATR ISI….....……………………………………………….……2
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………...3
A.    Latar  Belakang……………………………………………………………..   3
B.     Tujuan…………………………………………..…………………………..   3
BAB II
PEMBAHASAN……………………………...………………………..4
  1. Pengertian Zaman Jahiliyah…………………………………………………      4
  2. Pengertian hak wanita dan pria di era islam………………………………...       6
  3. Definisi penghargaan terhadap ilmu ……………………………………….        10
BAB III
PENUTUP………………….………………………………………….12
A.    Kesimpula…...……………………………………………………………… 12
B.     Saran……………………………………………………………………….. 12
DAFTAR PUSTAKA…………...……………………………...……..13


BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
      Agama islam sangat terkenal dengan Sejarah Kebudayaan Islam, dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah. Islamiyah adalah agama yang memiliki norma agama yang sangat kuat  namun, di Zaman Islamiyah yang sudah modern saat ini banyak kita ketahui, bahwa perang pemikiran yang dikemukakan orang barat terhadap orang-orang islam sudah mulai banyak yang terhasud, sehingga banyak orang islam yang mulai kembali ke zaman jahiliyah terdahulu. Maka dari itu kita sebagai penerus bangsa  Indonesia yang mayoritasnya agama islam harus mempelajari apa itu  zaman jahiliyah, hak wanita dan pria di era islam, dan penghargaan terhadap ilmu. Sehingga norma Agama islam tetap terjaga.
B.   TUJUAN
1)      Untuk mengetahui pengertian Zaman Jahiliyah
2)      Untuk mengetahui hak-hak Wanita dan Pria di Era Islam
3)      Untuk mengetahui betapa penting menghargai Ilmu



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jahiliyah

      Masa Jahiliyah adalah era ketika kondisi dan situasi masyarakat belum terjamah oleh risalah dan dakwah Islam. Periode ini sering juga disebut dengan istilah Pra-Islam. Seiring dengan perkembangan dan akulturasi bahasa, istilah ini juga melekat erat pada sifat orang-orang yang tidak taat pada aturan agama yang telah diproyeksikan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

      Kebiasaan-kebiasaan kaum jahiliyah yang realitasnya berseberangan dengan anjuran Rasulullah s.a.w tersebut disebabkan oleh sifat keras kepala, apriori dan ta’assub (fanatik yang berlebihan) terhadap peninggalan dan tradisi para leluhur yang mengental rekat dalam ritual yang selalu disakralkan. Seperti kebiasaan dahulu orang-orang jahiliyah yang mengitari ka’bah dengan bertelanjang tanpa busana, akhirnya terwarisi dengan kebiasaan generasi berikutnya yang tidak malu mempertontonkan auratnya di depan publik, sehingga hal seperti itu dianggap lumrah bahkan dianggap sebagai modernisasi.

      Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab dalam Masail Al-Jahiliyyah mengatakan, bahwa agama mereka (orang-orang jahiliyah) terbangun oleh beberapa pondasi yang menjadi akar dan pijakan. Yang terbesar diantaranya ialah “TAQLID”, yaitu sebuah sistim yang besar yang selalu menjadi tumpuan semua orang-orang kafir, sedari dahulu kala hingga akhir zaman. Sebagaimana Allah SWT berfirman di berbagai ayat di dalam Al-Qur’an:
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُون.
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesunguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”(QS.Az-Zukhruf:23).
 وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِير
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaithan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka). (QS.Luqman:21).
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ.
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya (pemimpin yang membawa kepada kesesatan). Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)” (QS.Al-A’raf:3).

Syeikh DR.Shalih ibn Fauzan ibn Abdillah Al-Fauzan dalam Syarhul Masaa’il Al-Jahiliyyah menjelaskan bahwa mereka (orang-orang jahiliyah) tidak menegakkan agama mereka sesuai dengan apa yang telah para Rasul sampaikan kepada mereka, sesunguhnya mereka mengkonstruksi agama mereka dengan dasar-dasar yang mereka mengada-adakannya sendiri sekehendak hati mereka, dan mereka enggan merobah diri serta beranjak dari kebiasaan itu. Perihal inilah yang dalam dunia Islam disebut sebagai “at-taqlid”, atau dalam istilah Arab juga akrab dengan sebutan “al-muhakah”, yaitu sebagian orang meniru cara-cara yang kelompok individu lain lakukan, sedangkan objek yang ditiru itu tidak sepatutnya untuk menjadi percontohan (maslahat). Sebagaimana Allah SWT berfirman:

Kata “مترفوها” dalam ayat ini adalah “mereka (para penduduk) yang hidup mewah sejahtera dan bergelimang harta pada umumnya, karena mereka adalah orang-orang yang cenderung berbuat jahat, sombong, dan tiada keinginan menerima kebenaran. Berbeda halnya dengan kaum faqir dan dhuafa, yang pada umumnya bersikap tawadhu’ dan ikhlas menerima kebenaran.

Kaum yang mengagung-agungkan harta, tahta dan garis keturunan leluhurnya inilah, yang dahulu ketika para Rasul memberi peringatan dan mengajak mereka kepada jalan yang benar, mereka selalu membantah dengan ucapan” “Inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa aatsaarihim muqtaduun”; “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah penganut jejak-jejak mereka.” Dengan kata lain (secara tidak langsung) mereka bermaksud: Kami tidak butuh peran dan kehadiranmu wahai Rasul, kami lebih percaya dengan apa yang telah dibudayakan oleh leluhur kami.



B.   Pengertian Hak Wanita dan Pria di Era Islam
      hak wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemulaian wanita. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.
Pemahaman emansipasi wanita yang berkembang saat ini mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM), menyerukan bahwa emansipasi wanita adalah menyamakan hak dengan kaum pria, padahal tidak semua hak wanita harus disamakan dengan pria. Mencermati pemahaman tersebut, Penulis tertarik mengkaji lebih mendalam terkait emansipasi wanita dalam perspektif hukum islam.
Islam sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan sebuah surat dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An-Nisa’ yang sebagian besar ayat dalam surat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan kedudukan, peranan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.
Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang sesuai pada tiga bidang: 
Pertama, Bidang Kemanusiaan, Islam mengakui hak wanita sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria. 
Kedua, Bidang Sosial , terbuka lebar bagi wanita di segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak wanita, usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi seorang ibu yang menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan. 
Ketiga, Bidang Hukum, Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.
Secara lebih rinci, hukum islam yang mengatur tentang emansipasi wanita yang konon diartikan sebagai tuntutan persamaan gender dengan pria. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut.
1)      Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah
      Kedudukan wanita yang sama dengan pria dalam pandangan Allah dapat ditilik dalam QS. Al-Ahzab : 35.


إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِين وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Orang muslim yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang mengikuti perintah dan menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud orang mukmin adalah orang-orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan oleh hatinya. Berdasarkan dalil ini, islam menjelaskan bahwa kedudukan antara wanita dan pria adalah sama, yang membedakan adalah iman dan ketakwaannya.
2)      Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya
Berkenaan dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam dapat dirujuk dalam QS. An-Nisa : 4.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
 “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian maskawin itu dengan senang hati, makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
      Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain dalil tersebut, kedudukan wanita dan pria dalam berusaha memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan dapat dilihat dalam QS. An-Nisa’ : 32.
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
 “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan, dan bagi para (wanita) pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunianya.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
3)      Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan
      Kedudukan wanita dan pria terkait dengan warisan dapat dirujuk dalam QS An-Nisa: 7,
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
 “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
      Islam merupakan agama yang kaffah, pengaturan terkait kedudukan pria dan wanita rinci diatur di dalamnya, salah satunya mengenai pembagian warisan.
      Hak dan kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu memiliki kodrat yang menimbulkan  peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai suami isteri, fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi Penanggu-ng jawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggung jawab sebagai Ibu rumahtangga.
Berdasarkan dalil-dalil yang telah Penulis kemukakan, maka dapat diketahui bahwa islam sangat menjunjung harkat wanita bahkan melindungi dari hal yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks.
EMANSIPASI BUKAN PEMBEBASAN DIRI
Wanita merupakan bagian terbesar dari komunitas masyarakat secara umum. Apabila mereka baik, niscaya masyarakat pun akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila mereka rusak, masyarakat pun akan rusak. Sungguh, apabila seorang wanita muslimah benar-benar memahami agama, hukum dan syari’at Allah, niscaya mereka akan mampu melahirkan generasi-generasi baru yang tangguh dan berguna bagi umat seluruhnya.
Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam  dalam firman-Nya ;
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi. Hal tersebut dimanfaatkan sebagai peluang dan jembatan emas bagi musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat, adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam sehingga emansipasi lebih condong dimaknai sebagai bentuk pembebasan bagi kaum wanita.
Opini-opini sesat yang terbentuk terkait emansipasi memberikan kesan wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Oleh karena itu agar wanita dapat maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara yang sesuai dengan ajaran islam.
Sudah merupakan aksioma zaman modern, bahwa wanita itu mulia. Hanya saja semua orang tidak sepakat dalam menentukan kriterium yang digunakan dalam mengukur tingkat kemuliaannya. Banyak yang melihat kepada kecantikannya. Ada juga yang melihat dari kemandirian dan posisi sosialnya. Ada juga yang melihat dari segi yang lebih abstrak, seperti kualitas spiritual dan akhlaknya.
Para pembela kaum wanita terus menerus mengkampanyekan persamaan hak antara pria dan wanita di semua bidang kehidupan . Sayangnya, usaha persamaan (emansipasi) itu cenderung ditampilkan dengan menafikan berbagai perbedaan kodrati antara dua kelompok manusia berlainan jenis ini. Ada sebuah ungkapan ironis, bahwa dunia wanita itu dibatasi empat dinding tembok. Sedangkan dunia kaum lelaki dibatasi oleh garis cakrawala. Maka emansipasi berarti "mendobrak" dinding pemisah yang membatasi ruang gerak kaum wanita. Apakah benar demikian? Tentunya harus merujuk kembali kepada beberapa aspek dalam menjelaskan hakikat persamaan antara pria dan wanita ini agar dalam "ketidaksamaan" yang tak terpungkiri itu, tetap dapat bertindak obyektif dan adil.
Perlu ditekankan bahwa emansipasi bukanlah pembebasan diri wanita. Selama ini, emansipasi lebih cenderung diartikan sebagai persamaan gender yang berimplikasi pada bentuk kebebasan memilih. Memilih dalam arti demikian disebut-sebut sebagai bagian dari hak asasi manusia. Misalnya, memilih menjadi wanita karier, padahal tugas mencari nafkah adalah kewajian seorang suami. Hal tersebut dianggap sebagai perwujudan bahwa kedudukan wanita dan pria adalah sama. Pada dasarnya, Islam membolehkannya tetapi ada batasannya dan tentunya tidak melanggar syari’. Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”
Islam didzalimi dengan anggapan palsu, bahwa Islam tidak memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk aktif di dalam kehidupan bermasyarakat dan memperoleh hak-hak politiknya. Ini tidak lepas dari misunderstanding dan sikap apriori terhadap ajaran-ajaran Islam. Menurut Yusuf Qardhawy, Islam membolehkan kaum wanita untuk menduduki posisi yang tertinggi di dalam pengadilan, mencalonkan diri menjadi anggota parlemen dan mendapatkan hak-hak politiknya secara umum. Intelek kondang Timur Tengah ini berdalilkan kepada QS : At-Taubah : 7 yang menyatakan: "Al-Mukminuun walmukminaat ba’dhuhum auliyaa’u ba’dhin". (Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan saling menjadi auliya' antara satu sama lain). Pengertian kataAuliya’, yang termaktub dalam ayat yang tersebut secara definitif mencakup kerjasama, bantuan, saling pengertian dalam konteks saling menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran.
Hal tersebut berarti mencakup pula segala segi kebaikan ataupun usaha perbaikan kualitas hidup umat, misalnya memberikan nasihat (kritik) kepada penguasa. Senada dengan pendapat Yusuf Qardhawi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa membolehkan wanita untuk menjadi hakim selain dalam perkara qishash dan hudud. Dan Imam Al-Thabary dan Ibn Hazm juga berpendapat yang demikian.
Jadi, pemahaman mengenai emansipasi perempuan harus dilihat dari berbagai aspek. tidak hanya dilihat dari aspek penuntutan hak saja, tetapi juga harus dilihat dari pemenuhan kewajiban. Perkembangan zaman mendengungkan emansipasi sebagai penuntutan hak-hak saja tetapi mengesampingkan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari hak-hak tersebut. Contoh konkritnya, wanita diperbolehkan berkarier, tetapi juga harus memenuhi kewajibannya seperti tetap memakai hijabnya dalam bekerja dan mengetahui posisinya di berbagai peran lainnya, yakni sebagai istri dan sebagai ibu. Dengan demikian, makna emansipasi menurut perspektif hukum islam tidak hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak saja akan tetapi juga menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban merupakan konsekuensi dari hak yang bertujuan untuk memuliakan wanita itu sendiri.
C.   Penghargaan Terhadap Ilmu
     Secara etimologis, kata ilmu berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis. Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan pengetahuan.
Jadi ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian yang dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah sistematis (science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan dalam pemikiran Islam, sain tidak boleh bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal.
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan Ilmu yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (acquired knowledge), tingkat kebenaran nisbi (relative), oleh karenanya tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk melakukan kajian ulang atau perbaikan kembali.
Al-qur’an menganggap “anfus” (ego) dan “afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Tuhan menampakka tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas karena ditimbang dari berbagai sisi pengalaman ini. Pengalaman batin merupakan pengembaraan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya yang atmosfernya telah dipenuhi dengan nuansa wahyu Ilahi. Sedangkan Al-qur’an membimbing pengalaman lahir manusia kearah obyek alam dan sejarah.
      Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi  karena sesungguhnya hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan.
ALLAH SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat al-mujadalah :11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَاتَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.


BAB III
   PENUTUP
A.   KESIMPULAN
      Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa. Zaman Jahiliyah adalah Era ketika kondisi dan situasi masyarakat belum terjamah oleh risalah dan dakwah Islam. Periode ini sering juga disebut dengan istilah Pra-Islam. Seiring dengan perkembangan dan akulturasi bahasa, istilah ini juga melekat erat pada sifat orang-orang yang tidak taat pada aturan agama yang telah diproyeksikan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
      hak wanita adalah prospek pelepasan wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-marah. Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemulaian wanita.
Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi  karena sesungguhnya hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek.
B.     SARAN
      Kita sebagai umat manusia,  khususnya umat islam marilah kita jaga iman dan takwa kita kepada ALLAH SWT. Jangan sampai kita kembali ke masa jaman jahiliyah yang terdahulu karna pada zama modern ini banyak orang-orang barat yang mencoba memerangi kita dengan kemajuan teknologi yang berkembang saat ini.




DAFTAR PUSTAKA


0 komentar:

Posting Komentar